Senin, 15 Agustus 2011

Dagelan Politik PKS di Pilgub Banten, PKS Kehilangan Jati Diri Ideologi

peristiwa-kampanye-pks-banten

TANGERANG—Peranan partai politik Islam saat ini tengah diragukan oleh sejumlah kalangan. Keberadaannya dinilai tidak jauh berbeda dengan sejumlah partai lain, yakni menjadikan partai sebagai dagelan politik untuk tujuan kekuasaan semata. Salah satunya adalah partai PKS yang selama ini mengaku sebagai partai bersih dan peduli.

Hal itu sebagaimana terungkap dalam seminar “Masa Depan Partai Islam di Era Konsolidasi Demokrasi” di Tangerang, Selasa (9/8). Seminar yang dihadiri oleh berbagai orgasisasi pemuda Islam itu membincang tentang peranan partai Islam selama lebih dari satu dekade terhitung sejak bergulirnya reformasi 1998.

Pengamat politik Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kota Tangerang Syihabuddin mengatakan, saat ini partai Islam hanya tinggal nama saja. Label Islam yang diusung tidaklah benar-benar merepresentasikan aspirasi umat Islam, melainkan kepentingan kelompok atau golongan partai bersangkutan. Partai PKS misalnya cenderung meninggalkan peran dan fungsi kepartaian, terutama agregrasi publik (menampung aspirasi publik, red) dan melakukan kontrol atas pemerintah.

“Peran dan fungsi itu sudah ditinggalkan. Yang tersisa hanyalah bagaimana mendapatkan dan mendistribusikan kekuasaan. Di sini Islam hanya dijadikan kedok untuk tujuan tersebut,” katanya.

Menurut Syihabuddin, fenomena yang melanda elit partai PKS baru-baru ini menjadi salah satu buktinya. Konflik internal antar elit PKS yang menyebut beberapa nama menerima suap dan kucuran dana, baik di Pemilu 2004 maupun Pilkada DKI 2007, menandakan bahwa PKS bukan partai dakwah. Ditambah lagi dengan peranan PKS yang mandul setelah masuk dalam lingkaran koalisi pemerintahan SBY-Boediono.

“Dulu masyarakat hanya tahu kalau PKS itu bersih dan peduli, tapi sekarang sudah bisa melihat bahwa PKS punya wajah buruk dan abai terhadap kepentingan masyarakat. PKS sekarang tergerus oleh apa yang disebut dengan kartelisasi partai. PKS bersaing merebut sumber-sumber pendanaan untuk eksistensi partai, sehingga kehilangan daya kristisnya terhadap pemerintah” tambahnya.

Sementara itu, pemerhati sosial-politik Indonesian Culture Academy Mohalli Ahmad berpendapat, kategori Islam dan nasionalis sudah tidak tepat disematkan ke partai politik. Pasalnya, ideologi partai Islam telah mulai pudar. Menurutnya, ada dua faktor yang menyebabkan hal tersebut: budaya politik pemilih dan prinsip moderasi partai yang diambil sebagai strategi kemenangan.

Mohalli menjelaskan, budaya politik pemilih sekarang telah bergeser dari parokial ke partisipan. Dalam budaya politik parokial, pilihan lebih didasarkan pada ikatan-ikatan emosional atau primordial baik agama, etnis, dll. Di sini, ideologi bisa beroperasi dengan ampuh melalui berbagai mitos yang diciptakan secara eksklusif bahkan doktrinal.

Namun sebaliknya, budaya politik partisipan tidak bergantung pada bentuk atau ideologi melainkan sejauh mana ideologi itu diterjemahkan dalam konteks lebih luas, baik secara idealistik maupun pragmatis.

“Seringkali Islam dijadikan kosmetika politik yang usang untuk dikontekstualisasikan. Padahal, yang terpenting dari dimensi praktis atau pragmatis suatu ideologi adalah sejauh mana partai memberikan kontribusi riil kepada masyarakat. Ketika PKS tidak konsisten menjalankan fungsinya (agregrasi publik dan fungsi kontrol) maka tidak layak disebut partai Islam,” katanya.

Sedangkan prinsip moderasi, lanjut Mohalli, merupakan faktor yang lebih spesifik. Prinsip moderasi yang dijadikan sikap politik partai Islam membuat PKS dan sejenisnya dapat berkoalisi dengan partai lain. Pemilu 2004 dan 2009 bisa dijadikan gambaran di mana partai Islam menyatu dengan partai nasionalis. Karena itu, sangat tidak relevan menyebut Islam sebagai identitas politik yang kaku.

“Prinsip moderasi dengan sendirinya menghilangkan ketegangan dialektis pada tataran ideologis. Gelanggang politik tidak lagi dipenuhi ketegangan wacana di mana konfrontasi gagasan dan pemikiran ikut serta meramaikan ruang publik. Sebaliknya, PKS justru kehilangan jati dirinya sebagai partai dakwah, tidak kritis, dan hanya taklid saja” ujarnya.

Menurut Mohalli, jika PKS ingin konsisten dengan Islam, sejatinya nilai-nilai Islam ditransformasikan menjadi idealisme perjuangan yang mewarnai segenap pikiran, perasaan serta sikap politik partai. Namun karena hal itu tidak terjadi dalam PKS, maka sulit mengharapkan keadilan dan kesejahteraan dari partai ini.

Hal senada diungkapkan oleh Wisnu, koordinator Forum Tangerang Selatan, ketika disinggung soal keberadaan PKS dalam Pilkada Banten 22 Oktober mendatang. Menurutnya, fenomena PKS sekarang ini berlaku secara umum, mulai dari pusat hingga daerah. Sangat sulit mengharapkan pengecualian. Sebab, masalah yang paling akut terletak pada ideologi dan sistem partainya.

“Ideologi adalah ruhnya sedangkan sistem partai merupakan mekanisme perwujudan nilai ideologi itu. Celakanya, antara ideologi dan sistem itu tidak nyambung. Ideologi menyatakan amar ma’ruf nahi mungkar tapi sistem partai mendorong yang sebaliknya. Jika partai sudah menjadi dagelan politik, lalu apa yang mau diperjuangkan?,” terangnya.

PKS yang mengusung Jazuli Juwaini di Pilkada Banten, besar kemungkinan akan jatuh di jurang yang sama. Sebab, tidak ada konsistensi antara ideologi dengan sistem partai. Apalagi ongkos politik begitu mahal.

“Pilihannya ada dua: tetap maju dengan menerapkan politik kartel atau merapat ke calon lain secara transaksional. Dalam artian, di sini Bakal Calon dari PKS tidak ada ruang untuk berdiri di atas flatform Bersih dan Peduli, kecuali memilih jadi penonton saja,” tegasnya.

(mojo, kabarpolitik.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar